Muslimah juga bisa cantik

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, menjadikannya pada posisi yang termulia, dengan bentuk yang terlengkap, perawakan yang ideal serta ciptaan yang utuh. Allah juga menitipkan watak kecintaan terhadap perhiasan dan kecantikan pada keturunan Adam ‘alaihis salam.
Wanita menjadi makhluk yang paling cenderung kepada perhiasan dan kecantikan. Sehingga tidak dapat kita nafikan bahwa gharizah (naluri) wanita terhadap kecantikan akan lebih besar dibandingkan dengan lelaki. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla member
ikan kelonggaran bagi kaum wanita untuk berhias.
Namun, dapat kita lihat pada zaman sekarang ini, para wanita telah diracuni pikiran dan hatinya mengenai era pemujaan tubuh. Dalam media-media cetak dan elektronik, banyak digembar-gemborkan bentuk fisik wanita idaman. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, harus sempurna seluruhnya. Wajah yang cantik dan atraktif, bibir yang seksi dan sensual, tubuh yang langsing, pakaian yang modis dan stylish, dan berbagai propaganda lainnya yang digunakan untuk menghinakan kaum wanita di mata dunia dan agama. Wal ‘iyyadzubillah…
Tahukah engkau saudariku, bahwa artis-artis telah menjadi ‘nabi baru’ tidak hanya di negeri kita ini, tapi juga di dunia ini. Mereka lebih dikenal oleh anak-anak, adik-adik dan saudari-saudari perempuan kita ketimbang para Shahabiyah radhiyallahu ‘anhum yang lebih mulia akhlaqnya. Mereka lebih dipilih untuk dijadikan panutan daripada orang-orang shalih yang telah jelas kebaikannya jika kita mencontoh mereka.
Sebagian di antara mereka ada yang berdalih bahwa dengan menjadi seorang muslimah, mereka tidak akan cantik lagi. Karena kecantikan mereka akan tertutup dengan jilbab. Disamping itu, kesenangan mereka akan berhias (bersolek) juga akan hilang, karena Islam mengharamkan tabarruj. Kemudian, mereka lebih memilih untuk menuruti kemauan syahwatnya akan dunia daripada kebaikan untuk dirinya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat.
Disini kita akan membahas akhlaq yang harus jadi bagian dari akhlaq kita, yaitu akhlaq seorang muslimah ketika dia berhias untuk mempercantik dirinya.
Berhiaslah, Saudariku… Berhiasnya seorang wanita haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Dan termasuk berhias yang dibolehkan bagi seorang wanita adalah memakai pakaian yang indah, perhiasan, wewangian dan berbagai kosmetik yang tidak akan berdampak negatif terhadap dirinya[1]. Seorang wanita sangat dianjurkan untuk berhias ketika dia hendak menemui suaminya. Karena suami akan lebih senang ketika melihat istrinya dalam keadaan yang baik dan menarik. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ketika pulang dari suatu peperangan: أَمْهِلُوا حَتَّى نَدْخُلَ لَيْلاً كَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ، وَتَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ “’Tundalah, sehingga kita memasuki malam hari agar para istri berdandan dan bersiap-siap dulu[2]. (Jabir berkata) Rasulullah juga mengatakan: إِذَا قَدِمْتَ فَالْكَيْسَ الْكَيْسَ. ‘Dengan demikian, ketika kamu datang, istrimu benar-benar tampak cantik.’”[3] Adapun bagi wanita yang belum menikah, maka tidak ada larangan baginya untuk berhias. Namun, berhiasnya seorang wanita yang belum menikah hanya boleh dilakukan di depan mahramnya[4]. Dan bagi keduanya, baik wanita yang sudah menikah maupun yang belum menikah, tidak boleh menampakkan perhiasannya di depan orang-orang yang bukan mahramnya kecuali yang biasa tampak dari mereka, sebagaimana telah difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla: …وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَــرَمِنْهَا “…dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An-Nur: 31) Berikut ini adalah beberapa adab berhias yang dibolehkan bagi kaum wanita: 1. Tidak berlebihan dalam berdandan Apabila seorang wanita muslimah berdandan hendaklah menyelisihi wanita-wanita kuffar dan bersederhanalah dalam berdandan. Al-Farafishah bin al-Ahash menasihati puterinya, Nailah, yang telah dinikahi oleh Amirul Mu’minin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu: “Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini: bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.” Dan nasihat Abul Aswad kepada puterinya: “Janganlah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu’.”[5] Begitulah nasihat kaum salaf kepada puteri-puterinya yang telah menikah. Mereka menyuruh puteri-puterinya agar selalu menjaga pandangan dan penciuman suaminya dengan cara yang sederhana.[6] 2. Memakai pakaian indah Pakaian tidak hanya berfungsi sebagai penutup aurat, tetapi dia juga berfungsi sebagai perhiasan. Allah Ta’ala telah menerangkan dalam firman-Nya: يَبَنِى ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَاعَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَرِى سَوْءَتَكُمْ وَرِيْشًا “Hai bani Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS. al-A’raaf: 26) Seorang wanita dibolehkan memakai pakaian yang indah dan hal ini sangat dianjurkan ketika dia sedang bersama dengan suaminya, agar menarik hati suami. Salah satu pakaian yang dibolehkan bagi wanita adalah pakaian yang terbuat dari sutra. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah diberi pakaian sutra oleh Ukaidir Dumah, lalu beliau memberikannya kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum dan bersabda: شَقَّقْهُ خُمُرًا بَيْنَ الْفَوَاطِمِ. “Potong-potonglah pakaian sutra ini untuk kerudung Fathimah.”[7] 3. Memakai perhiasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِلإِنَاثِ مِنْ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا. “Dihalalkan emas[8] dan sutra bagi para wanita dari umatku dan diharamkan bagi para lelaki dari umatku.” [9]
Larangan Berhias Seperti Wanita Jahiliyah dan Kaum Lelaki Tidak jarang kita lihat seorang wanita yang karena keinginannya untuk tampil ‘sempurna’ bak bintang iklan yang dilihatnya di televisi, membuatnya ingin meniru penampilan sang bintang tersebut. Padahal menurut syari’at, penampilan sang bintang jauh dari sempurna, karena dia meniru gaya berpenampilan wanita-wanita jahiliyah dari kaum kuffar. Dan Allah Ta’ala telah melarang kita untuk berhias seperti wanita-wanita jahiliyah: وَلاَتَبَرُّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَهِلِيَّـةِ الْأُولَى “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (QS. al-Ahzab: 33) Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah bersabda: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”[10] Telah disebutkan di atas bahwa berhias hukumnya mubah (boleh), akan tetapi Islam tidak begitu saja melepaskan tali kekang hanya karena keinginan dan tabiat tersebut. Islam memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dan mengharamkan beberapa hal yang tidak boleh diterjang. Batasan ini bukanlah dimaksudkan untuk menghakimi atau membebani bahkan mendzalimi manusia, tetapi Allah Jalla Dzikruhu menetapkannya untuk kebaikan bagi manusia itu sendiri. Karena Allah Maha Mengetahui segala kebaikan bagi hamba-Nya, sekalipun hamba-Nya tidak menyukainya.
Allah Ta’ala telah berfirman: وَعَسَى أَنْ تَــكْرَهُوْا شَيْـئًا وَهُوَخَيْرٌلَّكُـمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْـئًا وَهُوَشَرٌلَّكُـمْ وَاللهُ يَعْـلَمُ وَأَنْتُـمْ لاَ تَعْـلَمُوْنَ “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216) Berikut ini adalah beberapa larangan dalam berhias yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: 1. Menyambung rambut (al-washl) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ. “Allah melaknat penyambung rambut dan orang yang minta disambung rambutnya.”[11] 2. Menyemir/mencat rambut dengan warna hitam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada Abu Quhafah yang datang dengan rambut dan jenggot yang penuh dengan uban ketika Fat-hu Makkah: غَيِّــرُوا هَــذَا بِشَيْءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ. “Hilangkanlah ubanmu, tapi jangan dengan warna hitam.”[12] 3. Mentato tubuh (al-wasym), mencukur alis (an-namsh), mengikir gigi (at-taflij) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: لَعَنَ اللهُ الْوَا شِمَاتِ وَالْمُسْنَوْشِمَاتِ، وَالْوَاصِلاَتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ، الْمُغَيِّرَاتِ حَلْقَ اللهِ. “Allah melaknat orang yang mentato dan wanita yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, dan wanita yang meregangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan, yang merubah ciptaan Allah.”[13] 4. Mengenakan wewangian bukan untuk suaminya (ketika keluar rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: اَيُّمَا امْرَاَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ خَرَجْتَ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيْحَــهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ وَكُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ. “Setiap wanita yang menggunakan wewangian, kemudian ia keluar dan melewati sekelompok manusia agar mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia adalah seorang pezina, dan setiap mata itu adalah pezina.”[14] 5. Mencat dan memanjangkan kuku[15] Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: اَلْفِطْرَةُ خَمْسٌ: اْلاِخْتِتَانُ، وَاْلاِسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيَمُ اْلأَ ظْفَارِ، وَنَتْفُ اْلإِ بْطِ. “Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima (yaitu); khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.”[16] 6. Berhias menyerupai kaum lelaki لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupakan diri seperti wanita dan melaknat wanita yang menyerupakan diri seperti laki-laki.”[17]
Demikian pembahasan singkat mengenai fiqh kecantikan dan adab berhiasnya seorang wanita muslimah. Sehingga para wanita muslimah dapat terhindar dari berbagai bentuk tasyabbuh kepada wanita-wanita kuffar dan dapat tampil cantik dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai muslimah.
Semoga Allah menetapkan hati kita di atas kebenaran dan kelurusan manhaj Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Shahabat ridwanullahu ‘alaihim ajma’in.
Wallahu Ta’ala a’lam bish shawab.
Maraji’: Adaab az Zifaaf [Terj] oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, terbitan Media Hidayah Fatwa-Fatwa Tentang Wanita oleh Majmu’ah Minal Ulama, terbitan Darul Haq Fiqh Kecantikan oleh Dr. Muhammad Utsman Syabir, terbitan Pustaka at-Tibyan Panduan Lengkap Nikah dari “A” Sampai “Z” oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, terbitan Pustaka Ibnu Katsir ___________ Catatan kaki: [1] Ziinatul Mar’ah oleh asy-Syaikh Abdullah al-Fauzan, hal. 15. [2] Maksudnya adalah menyisir rambut yang kusut dan mencukur bulu kemaluannya. [3] Riwayat al-Bukhari dalam kitab an-Nikaah (no. 5254) dan Muslim dalam kitab an-Nikaah (no. 847) . Dan ini lafadznya. [4] Orang-orang yang menjadi mahram bagi wanita telah disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya di surat an-Nur ayat 31. [5] Panduan Lengkap Nikah, hal. 415-416. [6] [7] Riwayat Muslim dalam kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 1343). Lafadz “al-fawaatim” dalam hadits ini maksudnya adalah Fathimah binti Rasulillah radhiyallahu ‘anhum, Fathimah binti Asd, Fathimah (ibu) Ali bin Abi Thalib, dan Fathimah binti Hamzah bin Abdul Muthalib. [8] Terjadi ikhtilaf di kalangan ulama’ mengenai boleh atau tidaknya wanita memakai perhiasan emas. Syaikh al-Albani rahimahullah berpendapat –dengan ilmu yang ada pada beliau– bahwa haram hukumnya seorang wanita memakai perhiasan emas, sebagaimana diharamkan juga pada kaum lelaki. Penjelasan beliau tentang masalah ini dapat dilihat di kitabnya Adaab az-Zifaaf (terjemah) hal. 199-233. Namun, menurut pendapat jumhur ulama’, wanita dibolehkan memakai perhiasan emas. Wallahu a’lam. [9] Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, ath-Thabrani. Dishahihkan oleh at-Tirmidzi, al-Hakim dan ath-Thabrani. [10] Riwayat Ahmad, Abu Dawud ‘Abd bin Humaid dalam kitab al-Muntakhib (II/92), ath-Thahawi dalam kitab al-Musykil. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Imam al-Iraqi. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Sanadnya hasan.” [11] Riwayat Bukhari dalam kitab an-Nikaah (no. 5205), Muslim dalam kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 1383), an-Nasa’i dalam kitab Ziinah (no. 5097), dan Ahmad (no. 2482). [12] Riwayat Muslim dalam kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 1347). [13] Riwayat Bukhari dalam kitab Tafsiirul Qur’an (no. 4886), Muslim dalam kitab al-Libaas waz Ziinah (no. 1386), an-Nasa’i dalam kitab az-Ziinah (no. 5099), Abu Dawud dalam kitab at-Tarajjul (no. 4169), Ibn Majah dalam kitab an-Nikaah (no. 1989), Ahmad (no. 3871), ad-Daarimi dalam kitab Isti’dzaan (no. 2647). [14] Riwayat Ahmad, an-Nasa’i, dan al-Hakim dari jalan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. [15] Syaikh al-Albani rahimahullah berkata: “Inilah kebiasaan buruk yang ditularkan dari wanita-wanita berkelakuan buruk dari bangsa Eropa kepada kebanyakan wanita muslimah, yaitu mencat kuku mereka dengan warna merah dan memanjangkan sebagiannya.” (Lihat Adaabuz Zifaaf –kitab asli– hal. 204). Syaikh Ibn Baaz rahimahullah berkata: “Tidak boleh memanjangkan kuku; karena memanjangkan kuku menyerupai binatang dan sebagian kaum kafir. Mencat kuku sebaiknya tidak dilakukan dan wajib dihilangkan ketika berwudhu’, karena menghalangi sampainya air ke kuku.” (Lihat Fataawaa al-Mar’ah hal. 167). [16] Riwayat Bukhari dalam kitab al-Libaas (no. 5889), Muslim dalam kitab ath-Thaharah (no. 257), at-Tirmidzi dalam kitab al-Adab (no. 2756), an-Nasa’i dalam kitab ath-Thaharah (no. 10), Abu Dawud dalam kitab at-Tarajjul (no. 4198), Ibn Majah dalam kitab ath-Thaharah (no. 292), Ahmad (no. 7092), Malik dalam kitab al-Jimaa’ (no. 1709). [17] Riwayat Bukhari (X/274), at-Tirmidzi (II/129), al-Baghawi dalam kitab Hadits ‘Ali bin Ja’d (II/145/5), Ibn Hibban dalam kitab ats-Tsiqat (II/89), Abu Nu’aim dalam kitab Akhbar Ashbahan (I/120), Ibn Asakir dalam kitab Tahrim al-Abnah (I/166). Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Muslimah juga bisa cantik"

Posting Komentar